Rasullah Saw merupakan teladan utama dalam membangun peradaban yang berkeadilan dan bermartabat. Akhlaq beliau tidak hanya terejawantah dalam relasi personal, melainkan juga dalam tatanan sosial. Fiqih sosial hadir sebagai pendekatan untuk menafsirkan ajaran islam agar relevan dengan konteks kekinian tanpa melepaskan pijakan normatif Al-Qur’an dan Sunnah. Artikel ini mengkaji bagaimana meneladani akhlaq Rasullah dalam kerangkan fiqih sosial dengan menekankan prinsip keadilan, kesetaraan, musyawarah, dan penghormatan martabat manusia. Melalui telaah dalil-dalil Al-Qur’an, hadits, serta ijtihad ulama, ditunjukkan bahwa akhlaq Nabi merupakan fondasi untuk membangun kehidupan sosial yang harmonis, adil, dan beradab.
Kata Kunci: Akhlaq Rasullah, Fiqih Sosial, Keadilan, Martabat, Teladan
Pendahuluan
Akhlak Rasullah SAW adalah refleksi praktis dari nilai-nilai Al-Qur’an. Sebagaimana hadist Nabi berikut:
قَالَ سعد بن هشام : يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ أَنْبِئِينِي عَنْ خُلُقِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَقَالَتْ أَلَسْتَ تَقْرَأُ الْقُرْآنَ قُلْتُ بَلَىقَالَتْ فَإِنَّ خُلُقَ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ الْقُرْآنَ
“Telah berkata Sa’ad bin Hisyam ra.hu: Wahai Ummul mukminin, beritahukanlah kepadaku tentang akhlak Rasullah saw, Aisyah ra.ha menjawab : Apakah engkau membaca Al-Qur’an?, kemudian Sa’ad menjawab : Benar, Lalu Aisyah ra.ha berkata : Akhlaq Nabi saw. Adalah Al-Qur-an.” (HR. Muslim). Hal ini menegaskan bahwa perilaku Nabi bukan sekadar ajaran moral pribadi, tetapi sekaligus representasi dari visi Islam dalam membangun kehidupan sosial.
Dalam perkembangan kajian Islam kontemporer, fiqh sosial menjadi pendekatan yang menekankan relevansi hukum Islam dengan persoalan masyarakat modern. Fiqh sosial menggeser fokus dari semata-mata ibadah ritual kepada penguatan nilai-nilai sosial, keadilan, dan kemanusiaan. Oleh karena itu, meneladani akhlak Rasulullah dalam kerangka fiqh sosial berarti menjadikan nilai keteladanan beliau sebagai pedoman dalam membangun masyarakat yang berkeadilan dan bermartabat.
Akhlaq Rasullah Sebagai Landasan Sosial
Akhlaq Rasullah SAW mencakup dimensi kejujuran, kasih sayang, amanah, kesabaran, dan keadilan. Al-Qur’an menegaskan :
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. al-Qalam [68]: 4).
Ayat ini bukan sekadar pujian, melainkan deklarasi tentang posisi Nabi sebagai model moral universal. Akhlak beliau menembus batas personal dan melekat dalam hubungan sosial, politik, serta kemasyarakatan. Misalnya, dalam Piagam Madinah, Rasulullah menegakkan prinsip kesetaraan hak dan kewajiban antara Muslim dan non-Muslim, yang menunjukkan penghormatan terhadap martabat manusia tanpa diskriminasi agama.
Fiqih Sosial: Definisi dan Relevansi
Fiqh sosial adalah paradigma penafsiran hukum Islam yang berorientasi pada kemaslahatan masyarakat. Menurut KH. Sahal Mahfudh, fiqh sosial merupakan transformasi fiqih dari sekadar qauliyah (teks normatif) menjadi manhajiyah (metodologi kontekstual). Pendekatan ini memadukan teks dengan realitas, sehingga Islam tetap hidup dan relevan.
Dalam kerangka fiqh sosial, akhlak Rasulullah tidak hanya dipahami sebagai tuntunan pribadi, melainkan juga etika sosial. Hal ini sejalan dengan kaidah fiqh:
تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
“Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyat harus terkait dengan kemaslahatan.”
Dengan demikian, teladan Rasulullah dapat diproyeksikan menjadi pedoman fiqh sosial untuk menjawab problematika keadilan, kesenjangan, dan krisis martabat manusia di era modern.
Pilar-Pilar Meneladani Akhlak Rasullah dalam Fiqih Sosial
Prinsip Keadilan (al-‘Adl)
Rasullah SAW menegakkan keadilan tanpa pandang bulu. Beliau Bersabda:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ:pإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ، تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الضَّعِيفُ، أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ. وَايْمُ اللَّهِ، لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ، لَقَطَعْتُ يَدَهَا
“Telah memberitahu kami Qutaibah bin Said, memberitahu kami Lais, dari Nafi’, dari Abdullah bin Umar, dari Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kamu adalah apabila seorang yang terpandang di antara mereka mencuri, mereka membiarkannya. Tetapi apabila seorang yang lemah di antara mereka mencuri, mereka menegakkan hukum atasnya. Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menunjukkan bahwa keadilan adalah asas utama yang tidak boleh ditawar. Dalam konteks fiqh sosial, keadilan mencakup distribusi ekonomi, akses pendidikan, serta perlakuan hukum yang sama.
Prinsip Musyawarah (asy-Syura)
Allah berfirman dalam Al-Qur’an, وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ yang artinya “Urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka.” (QS. asy-Syūrā [42]: 38).
Rasulullah mempraktikkan musyawarah dalam berbagai peristiwa, seperti strategi Perang Uhud. Prinsip ini penting dalam membangun tata kelola sosial yang partisipatif dan berkeadilan.
Prinsip Kesetaraan dan Anti-Diskriminasi
Dalam Khutbah wada’ Rasullah bersabda dan menegaskan yang artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya Tuhanmu satu dan bapakmu satu. Tidak ada kelebihan orang Arab atas non-Arab, atau non-Arab atas orang Arab; tidak pula orang kulit putih atas kulit hitam, atau orang kulit hitam atas kulit putih, kecuali dengan ketakwaan.” (HR. Ahmad).
Hadis ini menegaskan bahwa martabat manusia adalah sama di hadapan Allah. Kesetaraan inilah yang menjadi fondasi keadilan sosial.
Prinsip Kasih Sayang dan Toleransi
Rasullah SAW Bersabda :
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ يُفَيْرٍ، قَالَ حَدَّثَنِي اللَّيْثُ، قَالَ حَدَّثَنِي عُقَيْلٌ، عَنِ ابْنِ شُهْبَةَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: “لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ”
“Telah menceritakan kepada kami Zuhayr bin Harb dan Ishaq bin Ibrahim, keduanya dari Jarīr. Zuhayr berkata: telah menceritakan kepada kami Jarīr, dari Suhayl, dari ayahnya, dari Abū Hurairah, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.” (HR. Muslim)
Prinsip Perlindungan Martabat Manusia
Allah telah berfirman di dalam Al-Qur’an yang menyebutkan:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِىٓ ءَادَمَ وَحَمَلْنَٰهُمْ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ وَرَزَقْنَٰهُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَفَضَّلْنَٰهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. al-Isrā’ [17]: 70).
Rasulullah mempraktikkan prinsip ini dengan memperlakukan setiap orang secara bermartabat, termasuk kaum dhu‘afa, perempuan, dan anak-anak. Fiqh sosial yang meneladani Nabi harus berpijak pada pemuliaan manusia sebagai subjek, bukan sekadar objek hukum.
Implementasi Dalam Kehidupan Kontemporer
Bidang Ekonomi: Meneladani akhlak Rasulullah berarti menolak praktik riba, korupsi, dan monopoli. Sebaliknya, mendukung ekonomi kerakyatan, zakat, dan wakaf produktif.
Bidang Pendidikan: Nabi memuliakan ilmu dan mengajarkan pentingnya literasi. Dalam fiqh sosial, pendidikan harus menjadi sarana pemerataan dan pemberdayaan.
Bidang Hukum dan Politik: Teladan Rasulullah dalam keadilan dan musyawarah dapat menjadi basis penegakan hukum yang transparan dan tata kelola pemerintahan yang demokratis.
Bidang Sosial-Budaya: Akhlak Rasulullah mendorong terciptanya masyarakat inklusif, toleran, dan penuh kasih sayang, yang relevan dengan kondisi pluralitas bangsa Indonesia.
Kesimpulan
Meneladani akhlak Rasulullah dalam kerangka fiqh sosial merupakan jalan untuk membangun kehidupan berkeadilan dan bermartabat. Prinsip-prinsip keadilan, musyawarah, kesetaraan, kasih sayang, dan penghormatan martabat manusia harus menjadi landasan praksis sosial umat Islam. Dengan demikian, Islam tidak hanya tampil sebagai agama ritual, tetapi juga sebagai kekuatan moral dan sosial dalam menjawab tantangan zaman.
========
*Oleh: Abdu Salafush Sholihin, S.H., M.H.
Lulusan Magister Ilmu Syariah || Aktif sebagai pengajar tetap Pendidikan Al-Quran Nitikan dan peneliti hukum keluarga Dengan fokus pada kajian munakahat, isu gender yang berbasis hukum islam serta fiqih sosial
========
Daftar Pustaka
Tinggalkan Komentar