Info Kami
Rabu, 22 Okt 2025
  • Membantu Mewujudkan Generasi Qur'ani
  • Membantu Mewujudkan Generasi Qur'ani
13 Oktober 2025

Pentingnya Menjaga Lisan, Jembatan Menuju Pendidikan yang Bermakna

Sen, 13 Oktober 2025 Dibaca 29x Buletin

Edisi 04 || Diterbitkan Oleh : Pendidikan Al Qur’an Nitikan Yogyakarta

Lisan, atau perkataan, adalah sebuah karunia yang luar biasa, sekaligus tanggung jawab besar yang melekat pada setiap individu. Melalui lisan, kita bisa berbagi pengetahuan, menyebarkan kebaikan, dan memperkuat ikatan antar sesama. Namun, jika tidak digunakan dengan bijak, lisan dapat berubah menjadi senjata tajam yang melukai perasaan, memicu perpecahan, dan bahkan membuang-buang waktu yang berharga.  

Dalam ranah pendidikan, pentingnya menjaga lisan dari hal-hal yang tidak berguna menjadi sangat krusial. Ini bukan hanya sekadar aturan etika dalam berkomunikasi, tetapi juga merupakan fondasi untuk membentuk kepribadian yang lebih baik. Mengendalikan lisan dari perkataan sia-sia membantu siswa dan pendidik untuk lebih fokus pada proses belajar dan menciptakan suasana yang harmonis di lingkungan sekolah. Lingkungan yang bebas dari perkataan negatif atau gosip memungkinkan setiap individu untuk berkembang secara maksimal tanpa adanya gangguan yang tidak perlu.

Dengan mempraktikkan penguasaan lisan yang baik, kita tidak hanya menunjukkan rasa hormat kepada orang lain, tetapi juga meningkatkan integritas diri. Sikap ini membantu menciptakan komunitas belajar yang saling mendukung, di mana ide-ide positif dan konstruktif bisa mengalir dengan lancar. Pada akhirnya, menjaga lisan adalah langkah fundamental menuju pembentukan karakter yang kuat dan penciptaan lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan dan perkembangan seluruh warga sekolah.

Pembahasan

Perkara Sia-Sia dan Dampaknya pada Pendidikan 

Perkataan sia-sia, atau laghwun, mencakup segala ucapan yang tidak bermanfaat, seperti ghibah (bergosip), namimah (mengadu domba), ucapan kotor, atau candaan berlebihan. Dalam konteks pendidikan, kebiasaan buruk ini dapat menimbulkan dampak negatif yang signifikan: 

  • Menghilangkan Keberkahan Ilmu: Lisan yang dipenuhi hal-hal sia-sia dapat mengotori hati, membuatnya sulit menerima dan mencerna ilmu. Ilmu yang seharusnya mencerahkan menjadi terhambat oleh perkataan yang tidak bermakna. Hal ini sejalan dengan hadis dari Anas bin Malik RA:

 عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: إِذَا اغْتَابَ أَحَدُكُمْ، فَقَدْ ذَهَبَتْ بَرَكَةُ عِلْمِهِ. (Artinya: Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Apabila seseorang di antara kalian berghibah, maka hilanglah keberkahan ilmunya.'”) 

  • Merusak Hubungan Antar Sesama: Ghibah dan fitnah dapat merusak kepercayaan dan persaudaraan antar siswa, guru, dan staf. Lingkungan belajar yang seharusnya dipenuhi rasa hormat dan kolaborasi, justru berubah menjadi sarang kecurigaan dan konflik. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

 لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلَا اللَّعَّانِ وَلَا الْفَاحِشِ وَلَا الْبَذِيءِ 

(Artinya: “Bukanlah seorang mukmin, yang suka mencela, melaknat, berbuat keji, dan berbicara kotor.”) (HR. Tirmidzi) 

  • Mengikis Konsentrasi Belajar: Waktu dan energi yang seharusnya digunakan untuk fokus pada materi pelajaran sering terbuang percuma untuk membicarakan hal-hal yang tidak penting. Ini berakibat pada penurunan kualitas belajar dan pemahaman

Menjaga Lisan sebagai Fondasi Pendidikan Karakter 

Pendidikan tidak hanya tentang transfer pengetahuan, tetapi juga tentang pembentukan karakter. Menjaga lisan adalah salah satu pilar utama dalam membangun karakter yang kuat. Saat seseorang terbiasa berbicara bijak, ia juga terlatih untuk berpikir sebelum bertindak, mengendalikan emosi, dan menghargai orang lain. Ini adalah bentuk pendidikan moral yang sangat penting. Landasannya adalah hadis dari Abu Hurairah RA:

 مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ 

(Artinya: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”) (HR. Bukhari dan Muslim) 

Sebagai pendidik, menjaga lisan berarti memberikan teladan bagi siswa. Ucapan seorang guru yang berbobot dan penuh hikmah akan lebih membekas daripada ceramah panjang tanpa makna. Sementara bagi siswa, menjaga lisan adalah bentuk penghormatan kepada guru, teman, dan ilmu itu sendiri. 

Solusi Praktis: Mengintegrasikan Nilai-Nilai Positif 

Lalu, bagaimana cara menerapkan nilai-nilai ini dalam keseharian di lingkungan pendidikan? 

  • Menciptakan Budaya Berbicara Positif: Sekolah dapat mengadakan kampanye seperti “Berbicara Baik atau Diam” yang melibatkan bimbingan guru. Hal ini dapat dimulai dari lingkup kelas untuk membiasakan siswa dengan percakapan yang positif dan membangun. 
  • Membiasakan Zikir dan Doa. Membiasakan siswa mengucapkan kalimat baik (zikir) dapat membantu membersihkan lisan dari perkataan buruk. 
  • Memperdalam Pemahaman Agama dan Etika: Integrasi materi tentang adab dan akhlak dalam kurikulum dapat memberikan landasan teoritis yang kuat tentang pentingnya menjaga lisan. Hal ini selaras dengan sabda Rasulullah SAW:

 مَا مِنْ شَيْءٍ أَثْقَلُ فِي مِيزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ 

(Artinya: “Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin pada hari kiamat daripada akhlak yang baik.”) (HR. Tirmidzi) 

Akhlak yang baik, termasuk menjaga lisan, sangat penting dalam Islam dan dapat menjadi bekal di akhirat.

Penutup 

Menjaga lisan adalah investasi jangka panjang untuk kehidupan yang lebih baik, baik di dunia maupun akhirat. Dalam dunia pendidikan, ini bukan hanya soal ketaatan, tetapi juga tentang menciptakan ekosistem belajar yang sehat, beretika, dan berfokus pada tujuan mulia. Dengan melatih diri dan siswa untuk hanya mengeluarkan perkataan yang bermanfaat, kita tidak hanya menjaga lisan, tetapi juga membangun peradaban yang beradab.

==================

*Oleh: Aji Pangestu, S.H.

 Aktif sebagai pengajar Pendidikan Al-Quran Nitikan Yogyakarta

==================

Daftar Pustaka

  • Al-Bukhari, Muhammad ibn Ismail. Shahih al-Bukhari. Riyadh: Darussalam, 1997.
  • An-Nawawi, Yahya ibn Syaraf. Riyadhus Shalihin. Jakarta: Shahih, 2016. 
  • At-Tirmidzi, Muhammad ibn ‘Isa. Sunan at-Tirmidzi. Berbagai edisi terjemahan tersedia, salah satunya oleh Gema Insani. 
  • Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad. Ihya’ ‘Ulumiddin. Surabaya: Gitamedia Press, 2003 
  • Ahmadi, H. Abu dan Nur Uhbiyati. Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003. 
  • Ahmad, T. Fuad. Pendidikan Karakter Berbasis Nilai Agama dan Budaya Bangsa. Palu: 2021.
  • Amin, Drs. H. Samsul Munir. Ilmu Akhlak. Jakarta: Amzah, 2022.
  • Qutb, Sayyid. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr, 1989. 
  • Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
  • Yunus, Mahmud. Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Mahmud Yunus. Lhokseumawe: Yayasan Madinah Al-Aziziyah, 2018.

Alamat kami :

Alamat :
Kompleks Pemberdayaan Masyarakat PRM Nitikan, Jl. Sorogenen No. 25, Kelurahan
Sorosutan, Umbulharjo, Yogyakarta
Telpon :
0858 - 7669 - 5655
Provinsi :
Daerah Istimewa Yogyakart